Selasa, 01 Juli 2008

TEKNIK PRODUKSI Zaenal Arifin, Komang Andrat dan Subiyanto Abstrak Budidaya


TEKNIK PRODUKSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
SECARA SEDERHANA


Zaenal Arifin, Komang Andrat dan Subiyanto

Abstrak


Pada umumnya budidaya vannamei di tambak menggunakan teknologi intensip sebagai akibat padat tebar yang tinggi, bisa mencapai 100 ? 300 ekor/m2. Dengan padat tebar yang tinggi, maka biaya untuk konstruksi, pakan dan sarana lainnya akan semakin tinggi pula. Oleh karena itu budidaya vannamei ini cenderung hanya bisa dilaksanakan oleh pengusaha atau petambak kelas menengah ke atas. Sedangkan petambak kecil hampir tidak ada yang memproduksi udang vannamei dikarenakan belum adanya teknologi sederhana yang terjangkau kemampuan dan dapat diterapkan oleh mereka.
Budidaya udang vannamei dengan menerapkan teknologi sederhana telah dilakukan di tambak BBPBAP Jepara. Luas tambak yang digunakan 7000 m2, padat tebar benih 7 ekor/m2, dengan ukuran PL13. Untuk menumbuhkan pakan alami, pada saat persiapan tambak, dilakukan pemupukan menggunakan pupuk urea dan TSP. Sebagai pakan tambahan, udang diberi pakan buatan. Untuk menumbuhkan bakteri yang menguntungkan digunakan probiotik. Pemeliharaan udang diahiri setelah udang mencapai umur 60 hari atau berat rerata 10 gram/ekor. Panen udang yang didapat dari teknologi ini adalah 385 kg atau 550 kg/Ha. Dengan analisa usaha sederhana didapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 1.800.000,- atau Rp 2.571.428/Ha/MT.

Keyword: vannamei, teknologi sederhana




PENERAPAN TEKNOLOGI SEDERHANA DALAM PRODUKSI UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei)


Zaenal Arifin, Komang Andrat dan Subiyanto


I.I. PENDAHULUAN

I.1.Latar Belakang

Setelah banyaknya serangan penyakit pada budidaya udang windu (Penaeus monodon), ada kecenderungan udang introduksi, seperti L. Vannamei, menjadi komoditas alternatif pada budidaya udang di tambak. Meskipun udang vannamei merupakan udang asli dari belahan bumi lain yaitu dari bagian barat pantai Amerika Latin, mulai dari Peru di sebelah selatan, hingga Meksiko, di sebelah utara, (Briggs, et al. 2004), udang ini dapat dibudidayakan di daerah tropis, seperti Indonesia.

Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh udang vannamei antara lain responsif terhadap pakan yang diberikan atau nafsu makan yang tinggi, lebih tahan terhadap serangan penyakit dan lingkungan yang kurang baik. Udang vannamei juga memiliki pasaran yang pesat di tingkat internasional (Ariawan, 2005). Bahkan udang ini sudah laku dijual pada saat berukuran 7,0 ? 10,0 gram/ekor atau pada saat udang berumur sekitar 60 hari di tambak.

Selanjutnya menurut Briggs et al. (2004), udang vannamei membutuhkan pakan dengan kandungan protein 25-30%, lebih rendah ketimbang udang windu. Di samping itu feeding efficiencynya juga lebih baik, dengan FCR 1: 1,2 pada budidaya vannamei secara intensif, sedangkan FCR udang windu 1:1,6. Karena kedua alasan tersebut dan dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan sintasan yang lebih tinggi, maka biaya produksi udang vannamei lebih rendah hingga 25-30% ketimbang biaya produksi udang windu.

Namun demikian, pada umumnya budidaya vannamei di tambak menggunakan teknologi intensip sebagai akibat padat tebar yang tinggi, bisa mencapai 100 ? 300 ekor/m2. Dengan padat tebar yang tinggi, maka biaya untuk konstruksi, pakan dan sarana lainnya akan semakin tinggi pula. Oleh karena itu budidaya vannamei ini cenderung hanya bisa dilaksanakan oleh pengusaha atau petambak kelas menengah ke atas. Sedangkan petambak kecil hampir tidak ada yang memproduksi udang vannamei dikarenakan belum adanya teknologi sederhana yang terjangkau kemampuan dan dapat diterapkan oleh mereka.

Sehubungan dengan itu maka untuk melengkapi paket teknologi budidaya udang vannamei di tambak dan untuk memenuhi kebutuhan petambak kecil terhadap paket teknologi budidaya udang tersebut, BBPBAP Jepara mengkaji dan menerapkan teknologi budidaya udang vannamei di tambak secara sederhana dengan masa pemeliharaan yang lebih singkat (sekitar 60 hari).

1.2. Tujuan

Tujuan kegiatan ini adalah mengkaji teknologi sederhana budidaya udang vannamei di tambak dengan masa pemeliharaan 60 hari.

1.3. Sasaran

Adapun sasaran kegiatan ini adalah menghasilkan paket teknologi sederhana budidaya udang vannamei di tambak. Dari teknologi yang diterapkan ini diharapkan dihasilkan berat rata-rata udang 10 gram/ekor dan sintasan lebih dari 70% selama pemeliharaan 60 hari di tambak.

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada kegiatan ini anatara lain:
Benih vannamei PL12
Pakan buatan
Pupuk anorganik
Saponin
Kapur
Probiotik
Inokulan plankton
Feed additive
Biofilter/biscreen

Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain peralatan analisa tanah dan air, peralatan ukur dan timbang, serta peralatan lapangan, seperti jala tebar, seserm e,mber dan lain-lain.

2.2.Waktu dan Tempat

Kegiatan ini dilaksanakan di tambak BBPBAP Jepara yaitu tambak F . Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2005. Kegiatan yang dilakukan meliputi inventarisasi data dan informasi lapangan seperti kualitas air dan tanah dasar, perbaikan konstruksi pematang, serta pengolahan tanah dasar, penebaran benih, pemeliharaan dan panen.

2.3.Metode

2.3.1. Persiapan Petakan

Persiapan tambak yang dilakukan meliputi pengeringan tanah dasar tambak, pembalikan tanah dasar, perbaikan dan pengkedapan pematang, pengapuran, pemberantasan hama serta perbaikan pintu air. Kualitas tanah dasar tambak dikatakan siap bila nilai pH>6,5, redoks > -50, bahan organik tanah <12%>10/1 (Supito, et all., 2006).

3.2. Persiapan air

Air yang digunakan untuk kegiatan budidaya udang ini adalah air yang sudah diperbaiki kualitasnya melalui petak pengendapan dan biofilter. Untuk mencegah masuknya ikan-ikan liar dan crustacea lain dilakukan penyaringan air dengan saringan kasa dengan mesh size 0,5 ? 1,0 mm. Untuk menumbuhkan plankton dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik (urea dan TSP). Kemudidan dilakukan aplikasi probiotik jenis Bacillus sp dengan dosis 1 liter/petak.

3.3. Penebaran
Penebaran benih dilakukan pada pagi hari pada saat suhu masih rendah, dengan tujuan untuk mengurangi stres akibat pemanenan, transportasi ataupun akibat pemilahan dengan formalin. Penebaran dilakukan secara perlahan-lahan atau melalui proses adaptasi terhadap suhu dan salinitas. Padat tebar pada kegiatan ini adalah 7 ekor/m2 dengan ukuran benih yang ditebar PL13.

3.4.Pemeliharaan

Untuk mempercepat proses tumbuhnya udang yang dipelihara, maka diberikan pakan buatan yang disesuaikan dengan ukuran, umur pemeliharaan serta diet pakan (Tabel 1). Disamping itu, juga diberikan pakan segar sebanyak 2 kg setiap aplikasi dan diberikan selama dua hari sebelum tebar sampai dua hari setelah tebar. Pakan segar juga diberikan selama pemeliharaan yaitu untuk meningkatkan nafsu makan. Selain pakan segar, juga diberikan feed additive berupa vitamin C yang dicampur dengan pakan buatan dengan dosis 2 gr/kg pakan (Nur dan Kontara, 2001), dan diikat dengan atractant (minyak cumi-cumi). Feed additive ini diberikan secara periodik selama 3 hari secara berturut-turut dalam satu minggu. Feed additive diberikan secara kontinyu apabila terjadi penurunan nafsu makan (Ariawan, 2005).

Tabel 1. Dosis dan frekuensi pemberian pakan berdasarkan berat udang.
No.
Dosis (%)
Berat udang (gr)
Frekuensi
Bentuk
1
20-10
0.1-2
2
Fine crumble
2
6-4
2-4
2-3
Coarse crumble
3
4-2
4-10
3-4
Pellet
4
4-2
10-20
4-5
Pellet

Selama pemeliharaan juga dilakukan pengelolaan air yang tergantung dari fluktuasi parameter air seperti bahan organik, amoniak, nitrit, oksigen terlarut, pH dan plankton. Kegiatan yang dilakukan dalam manajemen air meliputi pergantian air, pengapuran, pengenceran air serta aplikasi ikan biofilter dan bioscreening.

3.5. Pemanenan

Panen dilakukan setelah udang mencapai ukuran rata-rata 10 gram/ekor atau berumur sekitar 60 hari dalam tambak. Bahan dan alat yang digunakan dalam pemanenen adalah jaring kantong dan jala tebar. Untuk mengurangi kerusakan atau resiko kemunduran mutu udang maka panen dilakukan pada malam hari atau suhu rendah.

Parameter yang diamati

Data utama yang diamati dalam kegiatan ini adalah data pertumbuhan berat dan sintasan. Sedangkan data penunjangnya adalah suhu, salinitas, pH dan kecerahan yang diamati harian.Sedangkan bahan organik, amoniak, nitrat, nitrit, pospat, alkalinitas air diamati seminggu sekali bersamaan dengan pengamatan plankton. Bahan organik, redoks potensial dan pH tanah diamati seminggu sekali.


III.HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Pertumbuhan dan sintasan

Pertumbuhan berat dan sintasan udang selama pemeliharaan di tambak dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.

Tabel 1. Pertumbuhan berat dan sintasan udang vannamei di tambak
Sampling
Umur
Pertumbuhan berat (gram)
Perkiraan populasi (%)
1
2
3
4

30
40
50
60
3,80
5,32
6,73
8,97
97
95
95
93






















Grafik 1. Pertumbuhan udang vannamei di tambak teknologi sederhana

Dari Tabel 1 dan Grafik 1 terlihat bahwa pertumbuhan berat udang vannamei di tambak dengan teknologi sederhana dapat dinyatakan relatif cepat. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan berat udang windu yang dipelihara secara intensif atau semi intensif maka pertumbuhan vannamei tersebut masih lebih cepat. Bukti ini diperkuat oleh pernyataan Chamberlain (2003) dalam Briggs (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan berat udang windu cenderung menurun dalam lima tahun terahir ini dari 1,2 ? 1,0 gram/minggu. Sementara itu, dari hasil kajian BBPBAP Jepara, pertumbuhan berat rata-rata udang windu, terutama pada budidaya intensif dan semi intensif di beberapa daerah Indonesia, hingga umur 60 hari di tambak sekitar 5,0 - 7,0 gram/ekor (Supito, 2005).

Sintasan yang dicapai hingga hari ke 60 juga masih sangat tinggi yaitu 93%. Hal ini sangat logis karena masa pemeliharaan udang masih pendek sehingga kandungan sisa pakan, feces dan senyawa-senyawa beracun masih rendah. Oleh karena itu lingkungan tambak, baik kualitas tanah maupun air, masih sangat mendukung untuk kelangsungan hidup udang.

3.2. Kondisi udang

Kondisi udang selama pemeliharaan 60 hari dapat dinyatakan dalam kondisi yang sehat dan bagus. Hal ini ditandai dengan kondisi tubuh bagian luar udang yang bersih, anggota tubuh masih lengkap serta udang responsif terhadap pakan dan responsif terhadap adanya rangsangan dari luar.


3.3. Kualitas air dan tanah

Data hasil pengukuran parameter kualitas air tambak selama pemeliharaan udang vannamei dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air selama pemeliharaan udang vannamei
Tambak
Suhu (oC)
DO (ppm)
pH
Salinitas
(ppt)
Alkalinitas (ppm)
Bahan Organik (ppm)
Ammonia
(ppm)
U1

28,9 ? 29,3

2,47 ? 4,02

8,0 ? 8,1

32 ? 37

104,88 ? 124,44

51,03 ? 130,89

0,005 ? 0,015


Dari tabel kisaran kualitas air tambak dapat dinyatakan bahwa parameter-parameter kualitas air tersebut masih dalam kisaran normal, kecuali untuk parameter salinitas (32 -37 ppt) dan kandungan oksigen terlarut (DO), khususnya pada malam atau dini hari yang kurang dari kisaran optimal (2,47- 4,02).

Salinitas yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan udang sedikit terhambat. Sesuai dengan pendapat Wyban and Sweeny, (1991) dalam Briggs (2004) yang menyatakan bahwa udang vannamei dapat hidup pada salinitas 0,5 ? 45,0 ppt, namun akan tumbuh dengan baik pada salinitas 10 ? 15 ppt.

Kandungan oksigen yang rendah terjadi pada pagi hari dan cenderung terjadi setelah udang berumur di atas 40 hari. Kelarutan oksigen dalam air yang rendah ini mengakibatkan pertumbuhan udang kurang optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1996) yang menyatakan bahwa udang dan ikan pada umumnya akan hidup dan tumbuh dengan baik pada kandungan oksigen terlarut di atas 3,0 ppm.

Hasil pengamatan dan analisa kualitas tanah pada saat pemeliharaan udang hingga panen dan setelah panen dapat dinyatakan bahwa tanah tambak masih dalam kondisi yang baik. Hal ini ditandai dari hasil analisa bahan organik tanah tambak yang menunjukkan kisaran bahan organik sekitar 10 ? 13% dan pH tanah sekitar 6,8 ? 7,3. .
Dari hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa setelah udang dipanen, tanah dasar tambak dan caren tidak banyak mengandung lumpur. Tanah dasar tambak dan caren dapat dinyatakan cukup bersih. Dengan bahan organik dan pH tanah yang normal dan tanah dasar tambak relatif tidak berlumpur maka hanya dengan persiapan tambak yang sedikit saja, tambak dapat segera ditebari benur kembali.


3.4. Analisa Usaha

Analisa usaha secara sederhana untuk mengetahui komponen dan jumlah biaya yang diperlukan , panen dan pendapatan, serta dan keuntungan dari usaha budidaya udang vannamei sistem ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komponen biaya dan pendapatan dari hasil budidaya vannamei sederhana
Kompenen biaya
Satuan
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
Persiapan lahan
Peralatan
Benih
Pakan
Pupuk
Energi (solar)
Biaya panen
Tenaga kerja


10 OH
1 unit
50.000 ekor
250 kg
100 kg
240 lt
1 paket
2 orang
30.000
150.000
25
4380
1650
4150
500.000
1.000.000
300.000
150.000
1.250.000
1.248.300
165.000
996.000
500.000
2.000.000
T o t a l B i a y a
6.861.000
Panen
385 kg
22.500
8.662.500
Keuntungan : Rp. 8.662.500 ? 6.861.000
1.801.500


Dari Tabel 3 terlihat bahwa melalui budidaya vannamei dengan menerapkan teknologi sederhana dapat diperoleh keuntungan Rp. 1.801.500/MT/7000 m2. Atau apabila dikonversikan dalam satu hektar maka diperoleh keuntungan Rp 2.571.428/Ha/MT.

Keuntungan senilai tersebut bagi para pembudidaya menengah ke bawah dinilai cukup mengesankan. Di samping modal yang dibutuhkan sedikit, teknologi ini juga memiliki keuntungan lain yaitu pembudidaya memiliki jaminan kepastian tingkat keberhasilan yang lebih tinggi karena masa pemeliharaan yang pendek (2 bulan), dan masa tanam lebih banyak dalam satu tahun (4 kali pemeliharaan dalam setahun).
.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari hasil perekayasaan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

Panen udang vannamei yang diperoleh dari teknologi ini adalah 385 kg atau 550 kg/Ha dalam masa pemeliharaan 60 hari.
Dengan analisa usaha sederhana didapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 1.800.000,- atau Rp 2.571.428/Ha/MT.
Karena kepadatan yang rendah dan masa pemeliharaan yang pendek, maka budidaya dengan sistem ini relatif aman terhadap kemunduran kualitas tambak dan lingkungannya dan lebih menjamin kelanggengan berusaha..
Budidaya udang vannamei dengan siklus pemeliharaan yang pendek ini, (60 hari), sangat potensial diterapkan oleh pembudidaya udang, khususnya kelas menengah ke bawah, karena memiliki beberapa keuntungan atau kelebihan, seperti modal sedikit, dan jaminan keberhasilan lebih tingi.


4.2. Saran

Berdasarkan hasil perekayasaan ini dapat diajukan beberapa saran, yaitu:

Budidaya udang vannamei teknologi sederhana dengan masa pemeliharaan yang lebih pendek seyogyanya menjadi salah satu alternatif jawaban bagi pembudidaya, khususnya kelas menengah ke bawah, untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
Budidaya sistem ini juga perlu digalakkan di kalangan pembudidaya udang, khususnya di kawasan tambak yang riskan untuk dilakukan budidaya udang dengan teknologi intensif maupun semi intensif
Diharapkan melalui penggalakkan budidaya udang vannamei sistem ini, masyarakat pembudidaya udang dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan produksi udang nasional.













DAFTAR PUSTAKA

.
Ariawan, K., dkk., 2005. Peningkatan produksi udang merguiensis melalui optimasi dan pengaturan oksigen. Laporan Tahunan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.

Boyd, C.E., 1989. Water Quality Management dan Aeration in Shrimp Farming. Fisheries and Allied Aquacultures Departement Series No. 2. Alabama Agramicultural Experiment Station. Auburn University, Alabama.

Boyd, C.E. 1996. Water quality in pond for aquaculture. Auburn University. Alabama.

Briggs M., Simon F.S., R. Subasinghe, and M. Phillips. 2004. Introduction and movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and the Pacific. FAO-UN. Bangkok.

Nur, N. dan Kontara E. 2001. Penggunaan immunostimulan dan vitamin untuk meningkatkan ketahanan udang dan ikan terhadap serangan penyakit. BBPBAP. Jepara

Supito, Z. Arifin, dan D. Adiwijaya. 2006. Pengendalian lingkungan tambak udang melalui pengaturan keseimbangan C/N rasio dengan penambahan sumber karbon. (tidak dipublikasikan).

Supito, A. Taslihan, dan E. Sutikno. 2005. Penerapan Best Management Practices Pada Tingkat Petambak. BBPBAP. Jepara